Negara Islam Indonesia (NII) kian ramai diperbincangkan setelah sukses merekrut anggota dari kalangan kampus. Benarkah mereka melakukan cuci otak untuk mendapatkan korbannya?
okezone sempat berbincang dengan Utami Pratiwi, bekas mahasiswa Inter Studi, Jakarta, yang pernah menjadi anggota NII, namun keluar setelah sebulan bergabung.
Berikut petikan wawancara okezone dengan Tami, sapaan akrabnya, Selasa (26/4/2011) malam.
Bagaimana cerita awalnya Anda diajak bergabung?
Saya diajak teman kampus. Si A pertamanya tidak langsung mengajak bergabung. Dia hanya mengajak saya ke mal untuk beli kado. Di sana saya dipertemukan dengan Si B, temen A. Namun sudah dikondisikan bahwa mereka tidak saling kenal. Setelah kenal Si B, dia mengajak lagi bertemu dengan Si C di suatu tempat.
Nah saat itu biasanya mulai diajak diskusi tentang hal-hal umum dalam agama Islam. Misalnya “Kamu tahu enggak Islam yang sekarang gimana?” Mereka lebih banyak melempar pertanyaan dan kalau saya dianggap salah, mereka betulkan. Di sini mereka selalu memancing rasa ingin tahu, mereka akan bilang, makanya besok datang lagi ke tempat yang sama.
Pada pertemuan ke berapa Anda direkrut?
Satu dua kali datang mereka masih membicarakan hal-hal umum yang menyerempet makna “hijrah”. Baru pada pertemuan ketiga kalinya, mereka menawarkan kita untuk bergabung dengan cara mendaftar dan memberikan sejumlah uang untuk beramal. Untuk mahasiswa dulu saya diminta Rp350 ribu. Tapi mereka selalu memberi embel-embel, jangan pernah itung-itungan. Tapi saya waktu itu meminta agar uang itu bisa dicicil.
Setelah itu saya dibaiat dengan membaca syahadat yang kata-katanya sudah ditambahi. Saya lupa redaksinya, kemudian diminta membacakan sekian pasal yang harus dihafal. Kita juga diminta untuk menyerahkan 10 nama teman kita lengkap dengan nomor telepon.
Kegiatan apa yang dilakukan setelah dibaiat?
Kegiatan kita mentoring, satu orang satu mentor. Ada mentoring harian ada juga mentoring mingguan yang dilakukan di satu tempat. Kalau saya dulu, semua peserta disuruh menunggu di dekat salah satu mal di Kalibata. Kemudian semua anggota dijemput menggunakan mobil untuk melakukan mentoring di suatu tempat. 10-15 menit sebelum sampai biasanya kita disuruh tutup mata, tapi saya mengenali daerah itu, di satu tempat di Cililitan.
Materi yang didoktrinkan?
Kurang lebih sama. Kita diajarkan untuk berjihad mempersiapkan Negara Islam. Soal peribadatan hampir sama, cuma bedanya ibadah kita lebih longgar. Seperti salat selalu bisa dijamak (gabung) dan diqasar (ringkas) karena kita sedang berjihad. Untuk penampilan, tidak ada arahan untuk memakai pakaian tertentu, yang enggak pakai jilbab juga banyak.
Kenapa Anda memilih keluar dari NII?
Saya enggak suka di-push. Mereka mendesak saya untuk segera melunasi uang pendaftaran (Rp350 ribu). Saat saya bilang belum ada uang. Mereka bilang, boleh kok minta ke orangtua dengan alasan untuk keperluan kuliah. Di situ saya keberatan tapi saya tidak secara frontal menampakkan diri tidak sepaham dengan mereka.
Bagaimana Anda menyatakan keluar dari organisasi ini?
Lewat telepon saya bilang sudah enggak bisa bergabung lagi. Mereka sempat menghalang-halangi saya dan menyarankan untuk bertemu di markas. Saya sempat takut diculik, lalu saya menawarkan ketemu di tempat ramai dan akhirnya mereka setuju. Kami bertemu di salah satu pusat makanan di Mal Kalibata.
Di situ saya ditemui dua orang, tapi saya melihat ada anggota-anggota lain ikut menyertai dua orang itu. Saat itu, saya bilang kalau saya sudah bulat ingin keluar. Mereka terus memaksa agar saya tidak keluar. Mereka bilang saya akan tersesat, akan menghilang di goa dan sebagainya. Saya sampai nangis dan dilihat banyak orang. Setelah itu akhirnya mereka mengizinkan saya keluar.
Setelah memutuskan keluar, Anda tidak takut diintimidasi?
Sempat takut juga sih, cuma kalau itu tidak ada. Mereka hanya memaksa saya untuk tidak keluar, sampai menawakan akan memberi pinjaman. Tapi langsung saya bilang, saya tidak mau punya tanggungan untuk hal-hal yang tidak terlalu penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar